LIPUTAN ONE

test banner SELAMAT DATANG DI WEBSITE "LIPUTAN ONE"

Mengapa di Aceh Wanita Cenderung Dibatasi Menjadi Pemimpin, Ini Alasannya

ACEH BARAT - LIPUTANONE.COM | sebagai salah satu daerah dengan penerapan syariat Islam yang ketat, memiliki pandangan tersendiri terkait kepemimpinan wanita. 

Dalam perspektif Islam, kepemimpinan disebut dengan istilah Khilafah, Imamah, atau Imaroh, yang berarti tanggung jawab besar yang harus diemban oleh seseorang. Setiap pemimpin dalam Islam harus memiliki keahlian dan integritas yang tinggi, karena kepemimpinan merupakan amanah dari Allah SWT.

Banyak ulama di Aceh, termasuk Abon Arifin Serambi Aceh, belum lama ini Telah menegaskan bahwa wanita sebaiknya tidak menjadi pemimpin, terutama di ruang publik, berdasarkan ajaran Islam. 

Mereka mengacu pada nilai-nilai transendental yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ayat-ayat Al-Qur'an seperti Surah An-Nisa ayat 59 menekankan pentingnya menaati pemimpin yang memiliki legitimasi, dan keputusan terkait perbedaan pandangan harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.


Imam Besar Masjid Almuqaddas Kuta Padang., Mantan Ketua PD Muhammadiyah Aceh Barat periode 2010-2022, H.Djonaidy Ibnu Hajar Nasution, M.A.,

juga turut memberikan pandangannya terkait isu kepemimpinan wanita dalam Islam. Sabtu, 14/9/24.


Dalam pernyataannya, H.Djonaidy menegaskan bahwa Islam tidak secara mutlak melarang wanita menjadi pemimpin. Namun, menurutnya, jika masih ada laki-laki yang layak dan mampu memimpin, maka lebih utama bagi mereka untuk dipilih sebagai pemimpin. 


Menurutnya, Sunnah dalam Islam memang mengarahkan laki-laki untuk mengambil peran kepemimpinan. Namun, hal ini tidak mengurangi penghormatan terhadap peran wanita dalam masyarakat. 


"Wanita tidak dilarang menjadi pemimpin, namun jika kaum laki-laki masih ada dan mampu, lebih baik memberikan kesempatan itu karena kepada mereka adalah sebaik-baiknya pemimpin," ujarnya.


Ketua Majelis Taklim Al-Khalaq itu juga mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, yang menyatakan, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” 


Hadis ini sering kali dijadikan dasar oleh para ulama dalam diskusi mengenai peran wanita dalam kepemimpinan. Meskipun demikian, Djonaidy menekankan bahwa konteks hadis tersebut adalah spesifik dan tidak boleh dijadikan dasar untuk mendiskriminasi wanita secara umum.


Disamping itu, sejarah Islam sendiri mencatat bahwa wanita memiliki peran penting dalam kepemimpinan, meskipun dalam ranah yang berbeda. Sebagai contoh, tokoh-tokoh wanita seperti Aisyah RA memiliki pengaruh yang besar dalam dunia ilmu pengetahuan dan politik pada masanya.


Pandangan ini mencerminkan keseimbangan antara penghormatan terhadap sunnah Islam yang mengutamakan kepemimpinan pria, dengan tetap menghargai peran dan potensi wanita di berbagai bidang.


Senada hal yang sama juga diungkapkan, Drs. H. Abdul Wahid, M.A., seorang mubaligh terkemuka di Aceh Barat, turut menambahkan pandangannya terkait kepemimpinan wanita dalam Islam.

" Meskipun pria diutamakan sebagai pemimpin sesuai sunnah, Namun tidak ada larangan mutlak bagi wanita untuk memegang posisi kepemimpinan dalam situasi tertentu,"Tandasnya.

Menurut Ustad H. Abdul Wahid, "Dalam kondisi di mana tidak ada pria yang mampu atau layak memimpin, maka wanita yang memenuhi kriteria kepemimpinan, baik dari segi keahlian maupun integritas, tidak dilarang untuk menjadi pemimpin.


" Prinsip utama dalam Islam adalah memberikan amanah kepada yang berhak dan mampu, tanpa membedakan gender secara kaku," Imbuhnya.


Lebih lanjut, H. Wahid menambahkan bahwa dalam sejarah Islam, ada tokoh-tokoh wanita yang memiliki peran penting, baik dalam ranah sosial, ekonomi, maupun politik." Demikian Pungkas Ustad  Wahid.


Namun, seperti halnya H. Djonaidy Ibnu Hajar Nasution, Abdul Wahid tetap menegaskan bahwa jika ada laki-laki yang lebih layak, maka kepemimpinan laki-laki lebih diutamakan, dengan mempertimbangkan tatanan sosial dan ajaran agama.






: Edy Uwen (DS)

Posting Komentar

0 Komentar